Rupiah Menghadapi Tekanan Multifaktor: Analisis Dinamika Kebijakan Moneter dan Fiskal Indonesia
Nilai tukar rupiah Indonesia (IDR) mengalami tekanan berkelanjutan terhadap dolar Amerika Serikat (USD) dalam perdagangan hari Jumat, memperpanjang tren pelemahan yang telah berlangsung sejak pertengahan bulan ini. Mata uang Indonesia ditutup pada level Rp16.589,40 per dolar AS, melemah 112,6 poin atau setara 0,68% dibandingkan sesi perdagangan sebelumnya.
Dinamika perdagangan harian USD/IDR menunjukkan volatilitas yang signifikan, dengan pembukaan di level Rp16.476,80 dan menyentuh level tertinggi harian di Rp16.592,80. Pergerakan ini mengindikasikan dominasi dolar Amerika Serikat yang didukung oleh pendekatan kehati-hatian Federal Reserve serta ketahanan data ketenagakerjaan Amerika Serikat, termasuk penurunan klaim tunjangan pengangguran mingguan.
Dengan semakin dekatnya level psikologis Rp16.600, analis pasar memproyeksikan potensi pelemahan lanjutan menuju kisaran Rp16.650-Rp16.700 dalam jangka pendek. Kondisi ini diperparah oleh sentimen domestik yang belum memberikan dukungan memadai untuk menahan tekanan eksternal.
Kebijakan Moneter Bank Indonesia: Langkah Kontroversial di Tengah Tekanan
Bank Indonesia mengambil langkah mengejutkan dengan memangkas suku bunga acuan BI-Rate sebesar 25 basis poin menjadi 4,75% dalam Rapat Dewan Gubernur bulan September. Keputusan ini merupakan pemangkasan keenam sejak September 2024, dengan total pelonggaran mencapai 150 basis poin sepanjang siklus kebijakan saat ini.
Selain penurunan BI-Rate, bank sentral juga menurunkan deposit facility sebesar 50 basis poin menjadi 3,75% dan lending facility sebesar 25 basis poin menjadi 5,50%. Kebijakan ini bertujuan untuk merangsang permintaan kredit yang masih mengalami stagnasi, namun bertentangan dengan konsensus 31 ekonom dalam survei Reuters yang secara unanimous memproyeksikan suku bunga akan dipertahankan.
Keputusan kontroversial ini memicu reaksi negatif pasar, tercermin dari pelemahan rupiah yang tajam. Kekhawatiran utama terletak pada pelebaran diferensial suku bunga dengan Amerika Serikat, yang dapat meningkatkan capital outflow dari pasar domestik.
Meski demikian, ruang untuk pelonggaran moneter masih tersedia mengingat inflasi domestik berada dalam kendali pada level 2,52% secara year-on-year per Agustus 2024, jauh di bawah target batas atas Bank Indonesia sebesar 3,5%. Namun, efektivitas transmisi kebijakan moneter ke sektor riil masih menjadi pertanyaan yang belum terjawab.
Stimulus Fiskal dan Kontroversi Kebijakan
Menteri Keuangan yang baru dilantik, Purbaya Yudhi Sadewa, mengimplementasikan kebijakan fiskal ekspansif dengan mengalihkan dana sebesar Rp200 triliun dari Bank Indonesia ke bank-bank komersial. Langkah ini dimaksudkan untuk memperkuat likuiditas sektor riil dan disertai dengan stimulus tambahan senilai Rp16,2 triliun.
Meskipun bertujuan positif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran terhadap independensi Bank Indonesia. Pasar juga menilai bahwa langkah ini belum cukup efektif untuk meredakan tekanan terhadap rupiah yang masih menghadapi ketidakpastian global.
Tantangan Anggaran 2026 dan Implikasi Fiskal
Revisi anggaran negara 2026 menambah kompleksitas tantangan yang dihadapi rupiah. Dewan Perwakilan Rakyat bersiap menyetujui alokasi belanja negara sebesar Rp3.842,7 triliun dengan proyeksi defisit 2,68% dari Produk Domestik Bruto, angka yang lebih tinggi dari usulan awal pemerintahan Prabowo Subianto.
Meskipun masih berada di bawah batas legal yang ditetapkan, sorotan pasar semakin intensif pasca pergantian Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan munculnya gelombang protes publik. Pemerintah dituntut untuk mengidentifikasi sumber penerimaan negara bukan pajak yang berkelanjutan guna mengurangi ketergantungan pada instrumen utang.
Pemungutan suara final di DPR dijadwalkan pada 23 September 2024, yang akan menjadi momentum krusial bagi arah kebijakan fiskal Indonesia ke depan.
Perkembangan Ekonomi Amerika Serikat dan Dampaknya
Data ketenagakerjaan Amerika Serikat menunjukkan tanda-tanda perbaikan gradual yang dapat mempengaruhi kebijakan Federal Reserve. Klaim pengangguran mingguan turun menjadi 231.000 pada pekan yang berakhir 13 September, lebih rendah dari estimasi 240.000 dan revisi pekan sebelumnya di 264.000 menurut Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat.
Rata-rata empat mingguan juga mengalami penurunan tipis menjadi 240.000, sementara klaim lanjutan menyusut 7.000 menjadi 1,92 juta dengan tingkat pengangguran yang diasuransikan tetap stabil di 1,3%. Data ini mengindikasikan resiliensi pasar tenaga kerja Amerika Serikat yang dapat mendukung kekuatan dolar.
Respons Pasar dan Kebijakan Federal Reserve
Reaksi pasar terhadap rilis data ketenagakerjaan cenderung terbatas, dengan Indeks Dolar (DXY) bergerak sideways di kisaran 97,20 pasca publikasi data, kemudian menguat ke level 97,39. Imbal hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat menunjukkan pergerakan yang beragam menyusul pemangkasan suku bunga Federal Reserve sebesar 25 basis poin yang telah diantisipasi pasar.
Dalam pernyataan resmi, Federal Reserve menilai bahwa aktivitas ekonomi telah mengalami moderasi dalam beberapa bulan terakhir, pasar tenaga kerja mulai menunjukkan kelemahan, dan inflasi tetap berada di atas target 2% meskipun telah mulai mereda. Dot plot terbaru mengindikasikan potensi dua pemangkasan suku bunga tambahan hingga akhir tahun 2024.
Ketua Federal Reserve Jerome Powell menggambarkan langkah ini sebagai bentuk “manajemen risiko” dan menegaskan bahwa kebijakan moneter akan tetap bergantung pada data ekonomi tanpa mengikuti jalur yang telah ditentukan sebelumnya. Powell juga menyatakan tidak ada konsensus untuk pemangkasan agresif 50 basis poin dan belum ada urgensi untuk mempercepat pelonggaran moneter.
Indikator Manufaktur dan Proyeksi Ekonomi
Dari sektor manufaktur, sentimen menunjukkan perbaikan setelah indeks survei Federal Reserve Philadelphia melonjak drastis ke 23,2 pada September dari -0,3 bulan sebelumnya, jauh melampaui konsensus pasar yang memperkirakan 2,3. Peningkatan signifikan ini memperkuat sinyal pemulihan bertahap di sektor barang, meskipun kondisi makroekonomi masih diselimuti ketidakpastian.
Outlook dan Antisipasi Pasar
Pasar keuangan kini menantikan pidato Presiden Federal Reserve San Francisco Mary Daly yang dijadwalkan berlangsung malam ini, sebagai indikator tambahan untuk memahami arah kebijakan Federal Reserve pasca pemangkasan suku bunga terkini.
Bagi rupiah, kombinasi faktor domestik dan eksternal menunjukkan bahwa tekanan masih akan berlanjut dalam jangka pendek. Efektivitas koordinasi kebijakan moneter dan fiskal akan menjadi kunci dalam menstabilkan nilai tukar dan mempertahankan kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia.
One thought on “Rupiah Menghadapi Tekanan Multifaktor: Analisis Dinamika Kebijakan Moneter dan Fiskal Indonesia”